Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sejarah Masjid Pertama di Berlin

Minggu, 30 November 2008

Islam dan Toleransi

Toleransi sebagai Habitus Baru
by Zuhairi Misrawi (Gus Mis)
http://zuhairimisrawi.wordpress.com/2008/11/17/toleransi-sebagai-habitus-baru/#more-156

“Jika demokrasi menjadikan kediktatoran sebagai musuh bebuyutan, maka lawan dari moderasi adalah intoleransi dan ekstremisme. Karena itu, jalan terbaik yang harus dibangun dalam masyarakat yang plural, yaitu rekonsiliasi antara demokrasi dan moderasi, demokrasi dan toleransi untuk menggempur kediktatoran dan ekstremisme.”[1]

Itulah wasiat terakhir yang disampaikan oleh mendiang Benazir Bhutto. Ia juga menyebutkan sejumlah cendekiawan muslim yang dianggap telah memberikan sumbangsih bagi rekonsiliasi demokrasi dan moderasi, diantaranya KH. Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Di samping beberapa pemikiran Muslim lainnya, seperti Fazlur Rahman, Muhammad Khalid Masud (Pakistan) Muhammad Arkoun (Aljazair), dan Wahiduddin Khan (India).[2]

Demokrasi dan moderasi atau demokrasi dan toleransi ibarat dua mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan. Satu sama lain saling menyempurnakan. Bila salah satu di antara keduanya hilang, maka lenyap pula kekuatan yang lainnya. Demokrasi tanpa toleransi akan melahirkan tatanan politik yang otoritarianistik. Sedangkan toleransi tanpa demokrasi akan melahirkan psedo-toleransi, yaitu toleransi yang rentan menimbulkan konflik-konflik komunal. Sebab itu, demokrasi dan toleransi harus berkait kelindan, baik dalam komunitas masyarakat politik maupun masyarakat sipil.

Menurut Rainer Forst ada dua cara pandang tentang toleransi, yaitu konsepsi yang dilandasi otoritas perizinan yang dilakukan oleh negara (permission conception) dan konsepsi yang dilandasi pada kultur dan kehendak untuk membangun pengertian dan penghormatan terhadap yang lain (respect conception).[3] Dalam hal ini, Forst lebih memilih agar toleransi dalam konteks demokrasi harus mampu membangun saling pengertian dan saling menghargai di tengah keragaman suku, agama, ras dan bahasa.

Memang, sejauh ini toleransi diandaikan oleh banyak pihak sebagai durian yang jatuh dari langit. Kekuasaan dianggap sebagai faktor determinan dalam membangun toleransi. Jika negara sudah membuat peraturan yang menegaskan pentingnya toleransi dan kerukunan bagi sesama warga negara, semuanya dianggap taken for granted. Negara dianggap sebagai satu-satunya institusi yang bisa menyulap intoleransi menjadi toleransi.

Lain anggapan, lain pula realitasnya. Sebab belajar dari pengalaman, betapa bagusnya kebijakan publik yang dibuat oleh negara kerapkali sulit diterjemahkan dalam realitas. Ada beberapa hal yang menyebabkan kenapa toleransi sulit ditransformasikan dalam realitas keragaman yang ada dalam sebuah negara. Di antaranya, negara sendiri terdiri dari pelbagai entitas yang mempunyai mindset kurang lebih cenderung kepada intoleransi, daripada toleransi. Apalagi, entitas tersebut hanya memahami demokrasi secara prosedural, yaitu hegemoni mayoritas atas minoritas atau sebaliknya, ketundukan minoritas atas mayoritas.

Sementara itu, negara tidak mempunyai keberanian untuk mengambil keputusan dalam rangka menegakkan prinsip kesetaraan dan keadilan. Akibatnya, kelompok minoritas senantiasa berada di bawah ancaman kelompok yang mengklaim sebagai kelompok mayoritas. Lalu, pertanyaannya dari mana kita mesti memulai untuk membangun toleransi?

Dua Modal

Richard H. Dees (1999) memberikan resep yang sejauh ini merupakan cara terbaik untuk mengukuhkan toleransi, khususnya dalam masyarakat plural. Yaitu toleransi sebagai nilai dan kebajikan.[4] Menurut dia, masalah utama toleransi selama ini, karena toleransi dipahami sebagai modus vivendi, yaitu kesepakatan bersama yang dituangkan dalam persetujuan hitam di atas putih. Toleransi pada level ini mempunyai kelemahan yang bisa bertentangan dengan spirit toleransi, karena rentan terjerambab dalam kepentingan kelompok tertentu, terutama bilamana pihak mayoritas menjadikan otoritasnya untuk menentukan arah dan acuan dari kesepakatan toleransi. Toleransi pada model ini bisa menjadi jalan tol bagi munculnya tindakan intoleran, karena toleransi yang dibangun hanya di permukaan saja, yang biasa dikenal dengan toleransi politis.

Di Perancis, pada abad ke-16, Henri IV mengeluarkan sebuah dekrit tentang toleransi, yang diantara butir-butirnya berisi tentang upaya mengakhiri konflik yang berbasis agama antara umat Katolik dan Protestan. Dekrit tersebut disetujui oleh kedua belah pihak. Kalangan Protestan mendapatkan kebebasan untuk beribadah dan mendapatkan otonomi khusus di daerah bagian selatan dan barat, yang didominasi oleh kalangan Protestan.

Hanya saja, dalam realitasnya kesepakatan tersebut tidak benar-benar diimplementasikan oleh kedua belah pihak. Huguenot, komunitas Protestan di Perancis, kerapkali dicurigai oleh orang-orang Katolik. Intinya, kedua belah pihak tidak mampu menumbuhkan kepercayaan di antara mereka, khususnya pada tahun 1593 setelah Henri IV melakukan konversi ke Katolik, yang menyebabkan makin kuatnya dominasi kelompok Katolik.

Kedua komunitas tersebut sebenarnya mempunyai cita-cita yang luhur untuk membangun kedamaian, dan pemerintahan Henri IV berada di garda terdepan untuk mewujudkan toleransi menjadi kenyataan. Masing-masing kelompok mendapatkan jaminan kebebasan untuk melaksanakan pandangan keagamaannya. Bahkan kedua kelompok tersebut bersama-sama menyepakati traktat perdamaian dan toleransi.

Masalahnya muncul ketika Henri IV tewas pada tahun 1610 di tangan penganut fanatik Katolik. Kematian Henri menjadi awal dari bencana intoleransi. Sebab kedua kelompok tersebut kehilangan kepercayaan untuk mengawal kesepakatan toleransi yang telah berlangsung puluhan tahun. Sementara, benih-benih intoleransi mulai tumbuh di antara masing-masing kelompok dengan mengobarkan api pertikaian bersamaan dengan meninggalnya Henri IV, tokoh yang mengawal toleransi dan perdamaian. Sementara kalangan Protestan juga terpancing untuk melakukan perlawanan terhadap kalangan Katolik.

Pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman toleransi dan intoleransi di atas, bahwa toleransi sebagai modus vivensi sangat ditentukan oleh kekuatan politis yang berbasis ketokohan. Dan yang terpenting, masing-masing kelompok tidak memahami betul perihal pentingnya toleransi, baik di saat ada persetujuan hitam di atas putih maupun tidak ada.

Di Arab, tepatnya di Madinah, persetujuan serupa juga pernah dideklarasikan yang biasa disebut dengan mitsaq al-madinah (Piagam Madinah). Di atas kertas, piagam tersebut mampu membangun toleransi yang berbasis kesepakatan di antara kelompok agama-agama, khususnya Islam dan Yahudi. Namun dalam perjalanan sejarah, persetujuan tersebut mudah dilanggar karena belum menguatnya pemahaman tentang pentingnya toleransi dalam masyarakat plural. Mereka hanya mau bertoleransi di atas kertas, tapi sulit untuk menerjemahkannya dalam realitas politik yang plural. Lalu, sebenarnya apa masalah utamanya?

Dees mengajukan proposal rekonstruktif perihal pentingnya mengukuhkan toleransi di tengah ancaman intoleransi, yaitu meneguhkan toleransi sebagai kebajikan (toleration as a virtue). Di samping toleransi sebagai hak setiap individu (tolerance as good in its own right).[5]

Menurut dia, toleransi pada tingkatan sebagai kebajikan dan hak setiap individu menempati maqam tertinggi, karena toleransi bisa menembus dua ruang sekaligus, yaitu ruang politik dan ruang masyarakat sipil. Ada dan tidak adanya modus vivendi, toleransi merupakan nilai yang niscaya dalam masyarakat plural. Di satu sisi, toleransi harus menjadi kesadaran kolektif yang didukung oleh etika masing-masing kelompok agama dan kepercayaan, tetapi juga harus disadari bahwa hak setiap individu untuk hidup berdampingan secara damai dan menjunjung tinggi kebebasan berkelompok.

Dalam hal ini, jalan menuju toleransi merupakan proses yang tidak mudah. Kesepakatan hitam di atas putih sudah terbukti tidak begitu kuat untuk membangun toleransi pada tataran praksis. Toleransi sebagai modus vivendi, bahkan bisa berakibat negatif, karena kelompok mayoritas dengan mudah menggunakan otoritasnya untuk melanggar kesepakatan dengan cara melakukan tindakan kekerasan dan intimidasi.

Di sini, Dees membandingkan antara pengalaman Perancis Pra-Revolusi Perancis dengan pengalaman Inggris. Menurut dia, toleransi dalam bentuk modus vivendi di Inggris, khususnya setelah munculnya traktat toleransi pada tahun 1689 lebih kukuh dibandingkan di Perancis, karena toleransi yang dipraktikkan di Inggris mampu menerjemahkan nilai-nilai yang paling mendasar dalam toleransi (deeper toleration). Dengan kata lain, toleransi di Inggris sudah mampu menjadikan toleransi sebagai kebajikan dan hak setiap individu.

Setidaknya ada dua modal yang dibutuhkan untuk membangun toleransi: Pertama, toleransi membutuhkan interaksi sosial melalui percakapan dan pergaulan yang intensif (conversation). Di Inggris, semua kelompok didorong untuk menggali nilai-nilai toleransi sebagai kebajikan. Masing-masing kelompok, terutama kelompok minoritas diperlakukan secara adil dan setara, baik dalam ranah politik, ekonomi maupun agama. Mereka dilindungi oleh negara melalui sistem demokrasi. Mereka juga bebas melakukan aktivitas perekonomian. Selain itu, mereka dapat melakukan peribadatan secara bebas dan otonom. Di samping itu, kelompok mayoritas tidak melakukan penetrasi politik terhadap kelompok minoritas.

Kata kuncinya adalah kelompok minoritas mendapatkan hak otonom dalam pelbagai bidang kehidupan sebagai jaminan untuk melakukan interaksi dan pergaulan yang bersifat lintas batas kelompok dan golongan. Tidak seperti pengalaman Perancis pada abad 16 dan 17, yang mana kelompok minoritas tidak mempunyai hak otonom. Di samping kelompok mayoritas kerapkali menggunakan dalih politis untuk menyerang kelompok minoritas.

Kedua, membangun saling percaya diri di antara pelbagai kelompok dan aliran (mutual trust). Di Inggris, cara terbaik untuk membangun toleransi, yaitu menumbuhkan semangat kesatuan yang dibangun di atas pilar kebangsaan. Di saat muncul polarisasi antara kelompok yang mendukung nasionalisme Inggris dan kelompok anti-katolisisme, maka sebagian besar memilih nasionalisme sebagai alternatif yang terbaik. Alasannya, karena nasionalisme merupakan paham yang bisa membangun rasa saling percaya diri. Konsekuensinya, mereka menolak mentah-mentah pelbagai bentuk gerakan dan tindakan yang bernuansa intoleransi. Sebab kepercayaan suatu kelompok terhadap kelompok yang lain tidak akan tumbuh jika intoleransi menjadi kesadaran kolektif sebuah kelompok.

Sebab itu, salah satu caranya adalah menumbuhkan keinginan untuk berbagi nilai tentang toleransi dan mengubur pelbagai kebencian dan kecurigaan, terutama yang berbasis paham keagamaan. Di sini, semangat kebangsaan dapat membangun saling percaya diri, baik kelompok mayoritas maupun minoritas. Apapun aliran dan golongannya, mereka berada dalam satu payung bangsa yang sama.

Menurut Dees, dalam kaitannya dengan membangun saling percaya diri, ada anggapan bahwa toleransi dulu, lalu membangun saling percaya diri. Nalar seperti ini tidak bisa diterima. Belajar dari pelbagai pengalaman toleransi, khususnya di Inggris, yang harus dibangun adalah saling percaya diri, bahwa mereka akan diperlakukan sama di depan hukum, tidak ada satupun kelompok yang diintimidasi. Maka, logikanya adalah membangun saling percaya terlebih dahulu, baru akan terbit toleransi. Bukan toleransi, lalu saling percaya.

Jadi, Interaksi sosial melalui pergaulan dan percakapan yang intensif, disertai dengan upaya membangun saling percaya diri merupakan dua hal yang harus dipenuhi untuk mengukuhkan pemahaman toleransi sebagai kebajikan.

Kegagalan Perancis dan Keberhasilan Inggris di masa lalu menginspirasikan bahwa membangun toleransi bukan hanya kuasa negara, tetapi juga kuasa nilai yang diberlakukan dalam sebuah masyarakat. Toleransi bukanlah proses yang langsung jadi, melainkan kehadiran nilai yang mengakar kuat di tengah masyarakat, khususnya melalui perjumpaan dan dialog untuk membangun percaya diri.

Di Palestina, toleransi antar-agama khususnya Islam-Kristen berjalan dengan sangat baik. Buktinya, kalangan Kristen bisa hidup berdampingan dengan kalangan Muslim. Di jalur Gaza, yang selama ini terlibat konflik sengit dengan Israel, terdapat sekitar 3000 umat Kristiani. Mereka juga menggunakan bahasa Arab dalam kesehariannya, sebagaimana kalangan Muslim. Setidaknya, ada tiga gereja di jalur Gaza, yaitu Perofesius, Gereja Latin dan Gereja Injil.[6]

Di Jerussalem, umat Islam, Kristiani dan Yahudi bisa hidup berdampingan, bahkan diantara mereka melakukan kawin-mawin. Mereka menggunakan bahasa yang sama, yaitu bahasa Arab.

Sebagaimana di Inggris, keberhasilan toleransi antar-agama di Palestina dan Jerussalem dikarenakan kehendak dari pelbagai kalangan untuk membangun visi kebangsaan yang dapat melindungi seluruh kelompok. Mereka aktif melakukan komunikasi dan membangun saling rasa percaya. Kendatipun situasi di perbatasan berkecamuk, tetapi hal itu tidak memupuskan mereka untuk membangun toleransi.

Hal serupa sebenarnya terjadi di Irak, Suriah, Mesir, Maroko, Libanon dan beberapa negara Arab lainnya. Mereka mempunyai pengalaman toleransi yang menarik untuk dijadikan contoh, karena mereka telah mampu memahami toleransi sebagai kebajikan yang harus diutamakan dalam rangka menjaga keutuhan bangsa.

Dengan demikian, membangun toleransi sangat terkait dengan sejauhmana publik memahami perihal toleransi sebagai kebajikan yang dibangun di atas keinginan untuk hidup berdampingan secara damai.

Strata Toleransi

Beberapa penjelasan di atas, dapat dijadikan sebagai pijakan untuk melihat sejauh mana strata toleransi dipraktekkan dalam sebuah masyarakat. Sejauh ini ada tiga model toleransi: Pertama, masyarakat yang masuk dalam katagori tanpa-toleransi (zero-tolerance). Masyarakat yang masuk dalam katagori ini pada umumnya belum mampu menjadikan toleransi sebagai kebajian, sebagaimana di Inggris dan tidak pula mempunyai kesepakatan yang mampu menyadarkan mereka tentang pentingnya toleransi, sebagaimana di Perancis. Toleransi sebagai a virtue dan modus vivendi sama sekali tidak muncul ke permukaan. Contoh yang paling nyata adalah Sudan dan Rwanda. Kedua negara ini senantiasa berada dalam ancaman intoleransi, karena tidak mempunyai modal toleransi, baik secara kultural maupun struktural.

Kedua, masyarakat yang masuk dalam katagori toleransi relatif (relative tolerance). Pada umumnya, negara-negara modern sudah masuk dalam katagori ini, karena mereka mempunyai kesepakatan atau kebijakan publik yang secara eksplisit menjadikan toleransi sebagai bagian terpenting dalam paket domokratisasi. Tugas membangun toleransi bersifat top down. Dipaksakan dari atas ke bawah.

Sebagaimana dijelaskan di atas, katagori ini bisa dikatakan relatif baik, tetapi juga mempunyai kelemahan, karena tidak bisa bersifat permanen. Segala sesuatunya tergantung kepentingan politik dan karakter penguasa. Dalam sejarahnya, toleransi yang dibangun diatas kesepakatan politik tidak jarang menimbulkan konflik sosial dan pertikaian.

Ketiga, masyarakat yang masuk dalam katagori toleransi aktif (active tolerance). Katagori ini, harus diakui merupakan katagori terbaik dan paling ideal, karena toleransi telah menjadi nalar dan tingkah laku setiap individu. Masing-masing kelompok memahami dengan sangat baik, bahwa toleransi merupakan kebajikan dan hak setiap individu. Nalar mayoritas-minoritas dikubur hidup-hidup dan digantikan dengan paradigma kesetaraan. Di samping itu, toleransi sebagai kebajikan juga diperkuat oleh kebijakan publik yang secara nyata mendorong dan membumikan toleransi. Negara-negara yang menerapkan multikulturalisme sebagai kebijakan publik, pada umumnya merupakan contoh paling baik.

Dalam konteks keindonesiaan, tentu saja masalahnya tidak kalah rumit, karena potensi untuk menjadi zero-tolerance dan active tolerance sama-sama ada. Sejauh ini, negara kita bisa dikatakan sebagai relative tolerance, karena mempunyai kebijakan publik yang mewadahi kerukunan dan toleransi.

Namun masalahnya, kekerasan dan ancaman terhadap kelompok minoritas masih menjadi fakta yang setiap saat muncul ke permukaan. Bila fakta ini tidak disikapi dengan serius, maka akan menjadi api yang dapat membakar tungku intoleransi, yang pada akhirnya akan menghilangkan panorama toleransi yang selama ini menjadi bagian terpenting dalam perjalanan bangsa.

Sebaliknya, jika toleransi dapat dipahami oleh publik sebagai kebajikan melalui interaksi sosial dan sikap saling percaya di antara pelbagai kelompok, maka harapan untuk membangun toleransi yang aktif bukanlah hal yang mustahil. Di sini, upaya menjadikan toleransi sebagai habitus baru dalam berbangsa dan bernegara merupakan sebuah keniscayaan.

Maka dari itu, Abdul Husein Sya’ban menegaskan bahwa menggali khazanah toleransi merupakan sebuah keniscayaan agar kebajikan dan kearifan menjadi panglima di tengah dunia yang sedang dirundung kekerasan yang mengglobal.[7] Belajar dari masa lalu dan memperkaya nilai-nilai toleransi merupakan tugas yang mesti diemban oleh setiap individu.

Tidak ada komentar: